Sepertinya kalau ada kata “ujian” jantung kita langsung berdebar, dag dig dug, keringat dingin mulai keluar, gemetaran, takut kalau soalnya akan sulit, tak bisa jawab, terakhir tidak lulus. Semua bayangan negatif keluar saat kita akan menempuh suatu ujian, begitu juga halnya saat akan mengikuti Ujian Nasional, “benar-benar jadi momok.”
Ujian Nasional, ujian serempak, materi dan waktunya sama secara nasional, atau lebih kerennya ujian berstandar nasional. Ujian yang seharusnya menjadi kebanggaan tapi malah berakhir jadi polemik berkepanjangan. Biasanya yang banyak berkomentar negatif adalah orang-orang yang kalah, yang lulus malah “cuek-cuek” saja, bahkan loncat-loncatan saat lulus, coret-coretan baju sebagai luapan kebahagian, sekolah yang lulus 100% bahkan syukuran, bahkan kelulusan 100% pun jadi iklan penerimaan siswa, dijadikan bahan promosi untuk menarik murid baru, coba Anda bayangkan apakah kebanggaan dan kebahagiaan ini masih sama kalau tak ada ujian atau tantangan nasional.
Sampai sekarang penulis tak habis pikir, mengapa Ujian Nasional itu ditolak, bukankah untuk menyatakan suatu produk itu bisa diluncurkan di pasaran harus lulus “Quality Control” atau lulus mutu, bukankah setelah lulus para siswa itu akan berpindah tempat, dari daerah asal yang persaingannya kecil masuk ke dunia luar yang persaingannya sangat besar dan ketat.
Bukankah kita bangga bisa masuk ITB, UI, UNPAD, UGM atau PTN/PTS lainnya, karena untuk masuk sekolah itu harus lulus ujian dulu? Coba Anda bayangkan kalau masuk ITB, UI, UNPAD, UGM tanpa ujian masuk apakah kebanggaannya masih sama di hati Anda.
Mengapa kita tidak berfikir bahwa Ujian Nasional (”Ujian Lulus Mutu Nasional”) sebagai ujian tahap awal memasuki persaingan yang lebih tinggi dan lebih berat, kalau seorang siswa SD bisa lulus UN, berarti dia juga percaya diri dan lulus ujian masuk SMP, karena bobot ujiannya pun tak jauh beda, siswa SMP yang bisa lulus UN juga merasa bangga dan percaya diri untuk bisa mengikuti ujian masuk SMA. Begitu juga seterusnya para siswa SMA yang lulus UN dengan hasil memuaskan mereka bisa menatap dengan jelas perguruan tinggi mana dan jurusan apa yang akan mereka ambil sesuai bakat dan minatnya, karena ujian masuk perguruan tinggi tak jauh beda dengan apa yang sudah mereka lalui di sekolah.
Adalah naif rasanya, kalau kita jadi juara kandang, juara di satu sekolah tapi tak diterima di sekolah manapun, karena setiap ujian masuk tak ada yang lulus, karena sekolahnya memberikan ujian yang bisa dijawab oleh muridnya, bukan ujian berdasarkan kurukulum, materi pelajaran yang seharusnya diajarkan, “bukan yang bisa diajarkan”. Jujur saja kebanyakan guru sekarang hanya mengajarkan apa yang bisa diajarkan bukan yang harus diajarkan, karena para guru banyak yang malas belajar, sehingga kursus lebih diminati, bimbingan belajar jadi antri, karena di sekolah materi yang dibutuhkan untuk ujian nasional tidak diajarkan dengan benar. Para guru sibuk dengan kelas “pemantapan” yang ada uang tambahannya, sementara kelas utamanya malah diabaikan.
Dari pengamatan penulis, UN atau ujian masuk perguruan tinggi tidak ada bedanya dengan materi yang harus diajarkan oleh guru di sekolah, karena penulis juga siswa dulunya, bukan langsung jadi guru seperti sekarang. Sebagai guru jujur sajalah apakah kita sudah mengajarkan apa yang seharusnya diajarkan, sesuai dengan kurikulum yang sudah ditetapkan, dan apakah kita sudah mengajar dengan cara yang benar, punya “lesson plan”, membuat alat bantu untuk mengajar, apakah apa yang kita pelajari saat jadi mahasiswa pendidikan guru kita praktekan dalam pekerjaan kita sebagai guru. Ujian Nasional mengapa harus takut, mengapa harus banyak alasan dan “hela” untuk menolaknya, cuma karena kita tak mampu, kenapa tidak belajar lagi untuk menutupi ketidakmampuan itu.
“We, Teacher is for Teaching, not for Cheating.”
sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/19/ujian-nasional-mengapa-harus-takut/
Ujian Nasional, ujian serempak, materi dan waktunya sama secara nasional, atau lebih kerennya ujian berstandar nasional. Ujian yang seharusnya menjadi kebanggaan tapi malah berakhir jadi polemik berkepanjangan. Biasanya yang banyak berkomentar negatif adalah orang-orang yang kalah, yang lulus malah “cuek-cuek” saja, bahkan loncat-loncatan saat lulus, coret-coretan baju sebagai luapan kebahagian, sekolah yang lulus 100% bahkan syukuran, bahkan kelulusan 100% pun jadi iklan penerimaan siswa, dijadikan bahan promosi untuk menarik murid baru, coba Anda bayangkan apakah kebanggaan dan kebahagiaan ini masih sama kalau tak ada ujian atau tantangan nasional.
Sampai sekarang penulis tak habis pikir, mengapa Ujian Nasional itu ditolak, bukankah untuk menyatakan suatu produk itu bisa diluncurkan di pasaran harus lulus “Quality Control” atau lulus mutu, bukankah setelah lulus para siswa itu akan berpindah tempat, dari daerah asal yang persaingannya kecil masuk ke dunia luar yang persaingannya sangat besar dan ketat.
Bukankah kita bangga bisa masuk ITB, UI, UNPAD, UGM atau PTN/PTS lainnya, karena untuk masuk sekolah itu harus lulus ujian dulu? Coba Anda bayangkan kalau masuk ITB, UI, UNPAD, UGM tanpa ujian masuk apakah kebanggaannya masih sama di hati Anda.
Mengapa kita tidak berfikir bahwa Ujian Nasional (”Ujian Lulus Mutu Nasional”) sebagai ujian tahap awal memasuki persaingan yang lebih tinggi dan lebih berat, kalau seorang siswa SD bisa lulus UN, berarti dia juga percaya diri dan lulus ujian masuk SMP, karena bobot ujiannya pun tak jauh beda, siswa SMP yang bisa lulus UN juga merasa bangga dan percaya diri untuk bisa mengikuti ujian masuk SMA. Begitu juga seterusnya para siswa SMA yang lulus UN dengan hasil memuaskan mereka bisa menatap dengan jelas perguruan tinggi mana dan jurusan apa yang akan mereka ambil sesuai bakat dan minatnya, karena ujian masuk perguruan tinggi tak jauh beda dengan apa yang sudah mereka lalui di sekolah.
Adalah naif rasanya, kalau kita jadi juara kandang, juara di satu sekolah tapi tak diterima di sekolah manapun, karena setiap ujian masuk tak ada yang lulus, karena sekolahnya memberikan ujian yang bisa dijawab oleh muridnya, bukan ujian berdasarkan kurukulum, materi pelajaran yang seharusnya diajarkan, “bukan yang bisa diajarkan”. Jujur saja kebanyakan guru sekarang hanya mengajarkan apa yang bisa diajarkan bukan yang harus diajarkan, karena para guru banyak yang malas belajar, sehingga kursus lebih diminati, bimbingan belajar jadi antri, karena di sekolah materi yang dibutuhkan untuk ujian nasional tidak diajarkan dengan benar. Para guru sibuk dengan kelas “pemantapan” yang ada uang tambahannya, sementara kelas utamanya malah diabaikan.
Dari pengamatan penulis, UN atau ujian masuk perguruan tinggi tidak ada bedanya dengan materi yang harus diajarkan oleh guru di sekolah, karena penulis juga siswa dulunya, bukan langsung jadi guru seperti sekarang. Sebagai guru jujur sajalah apakah kita sudah mengajarkan apa yang seharusnya diajarkan, sesuai dengan kurikulum yang sudah ditetapkan, dan apakah kita sudah mengajar dengan cara yang benar, punya “lesson plan”, membuat alat bantu untuk mengajar, apakah apa yang kita pelajari saat jadi mahasiswa pendidikan guru kita praktekan dalam pekerjaan kita sebagai guru. Ujian Nasional mengapa harus takut, mengapa harus banyak alasan dan “hela” untuk menolaknya, cuma karena kita tak mampu, kenapa tidak belajar lagi untuk menutupi ketidakmampuan itu.
“We, Teacher is for Teaching, not for Cheating.”
sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/19/ujian-nasional-mengapa-harus-takut/
0 komentar:
Posting Komentar